LokalZone - Produksi rumput laut Bali pada 2014 turun drastis 42,08% menjadi 84.320,58 ton dari tahun sebelumnya sebanyak 145.597,2 ton akibat terjadinya alih fungsi lahan dari budi daya menjadi kawasan wisata.
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan (Diskelkan) Bali, produksi di tiga kabupaten dan kota menurun, di Badung dari 43.986 ton pada akhir 2013, menjadi 156 ton, Klungkung dari 100.589 ton menjadi 83.780 ton, dan Denpasar dari 742 ton, tinggal 314 ton. Namun, di Buleleng, naik dari 9 ton menjadi 69 ton.
Menurut Kadiskelkan Bali I Made Gunaja, penurunan signifikan disebabkan terjadinya alih fungsi lahan yang sangat tinggi di pusat budi daya rumput laut di Pantai Kutuh, Badung. Lahan yang sebelumnya sentra rumput laut, saat ini difungsikan menjadi kawasan wisata Pantai Pandawa.
“Karena lahan difungsikan menjadi wisata, minat pembudi daya rumput ikut berkurang dan beralih profesi ke sektor pariwisata,” tuturnya dikutip dari Bisnis, Rabu (4/2/2015) .
Selain di Badung, alih fungsi juga terjadi di sentra budidaya di Pulau Nusa Penida, Klungkung, di mana lahan yang sebelumnya berfungsi sebagai tempat penjemuran sekarang disewakan untuk kegiatan pariwisata seperti kafe. Kondisi demikian diperparah oleh faktor cuaca ekstrim yang menyebabkan serangan penyakit ice-ice terhadap rumput laut jenis cottoni.
Penurunan tersebut,lanjutnya, tidak bisa dihindari karena tuntutan kebutuhan masyarakat menyebabkan mereka berganti profesi dari petani rumput laut ke jasa wisata. Persoalan lainnya, budi daya rumput laut sangat bergantung terhadap cuaca. Maka, ketika cuaca buruk dan menyebabkan penyakit, petani tidak bisa berbuat banyak
Gunaja mengatakan kendati terjadi penurunan, pihaknya sudah melakukan upaya penanganan, seperti mengembangkan rumput laut jenis baru, yakni rumput laut merah yang diklaim lebih tahan terhadap perubahan cuaca, dan tidak disukai hama ikan. Saat ini lokasi pengembangannya di Buleleng dan Badung.
Luas lahan rumput laut di Bali mencapai 1.500 Ha, tetapi yang baru dimanfaatkan hanya 500 Ha tersebar di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, dan Sawangan, Kabupaten Badung, Amed, Kabupaten Karangasem, dan Gerogak, Kabupaten Buleleng.
Sebagian besar lahan itu merupakan budi daya yang diusahakan oleh kelompok petani rumput laut. Menurutnya, potensi produksi rumput laut Bali dapat mencapai 300.000 ton per tahun.
Ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) Safari Aziz mengatakan pihaknya sudah menyuarakan kepada pemerintah daerah agar memperhatikan masalah ini karena akan menurunkan produksi rumput laut. Salah satu desakan yang sempat disuarakan terkait pembuatan peraturan daerah tentang zonasi rumput laut.
Pasalnya, pembangunan pariwisata di Bali sedemikian masif dan tidak memberikan ruang bagi petani rumput laut, bahkan untuk sekadar menjemur hasil panen. Dia mengusulkan agar pemda duduk bersama dengan ARLI untuk mencari solusi bersama mengatasi persoalan ini.
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan (Diskelkan) Bali, produksi di tiga kabupaten dan kota menurun, di Badung dari 43.986 ton pada akhir 2013, menjadi 156 ton, Klungkung dari 100.589 ton menjadi 83.780 ton, dan Denpasar dari 742 ton, tinggal 314 ton. Namun, di Buleleng, naik dari 9 ton menjadi 69 ton.
Menurut Kadiskelkan Bali I Made Gunaja, penurunan signifikan disebabkan terjadinya alih fungsi lahan yang sangat tinggi di pusat budi daya rumput laut di Pantai Kutuh, Badung. Lahan yang sebelumnya sentra rumput laut, saat ini difungsikan menjadi kawasan wisata Pantai Pandawa.
“Karena lahan difungsikan menjadi wisata, minat pembudi daya rumput ikut berkurang dan beralih profesi ke sektor pariwisata,” tuturnya dikutip dari Bisnis, Rabu (4/2/2015) .
Selain di Badung, alih fungsi juga terjadi di sentra budidaya di Pulau Nusa Penida, Klungkung, di mana lahan yang sebelumnya berfungsi sebagai tempat penjemuran sekarang disewakan untuk kegiatan pariwisata seperti kafe. Kondisi demikian diperparah oleh faktor cuaca ekstrim yang menyebabkan serangan penyakit ice-ice terhadap rumput laut jenis cottoni.
Penurunan tersebut,lanjutnya, tidak bisa dihindari karena tuntutan kebutuhan masyarakat menyebabkan mereka berganti profesi dari petani rumput laut ke jasa wisata. Persoalan lainnya, budi daya rumput laut sangat bergantung terhadap cuaca. Maka, ketika cuaca buruk dan menyebabkan penyakit, petani tidak bisa berbuat banyak
Gunaja mengatakan kendati terjadi penurunan, pihaknya sudah melakukan upaya penanganan, seperti mengembangkan rumput laut jenis baru, yakni rumput laut merah yang diklaim lebih tahan terhadap perubahan cuaca, dan tidak disukai hama ikan. Saat ini lokasi pengembangannya di Buleleng dan Badung.
Luas lahan rumput laut di Bali mencapai 1.500 Ha, tetapi yang baru dimanfaatkan hanya 500 Ha tersebar di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, dan Sawangan, Kabupaten Badung, Amed, Kabupaten Karangasem, dan Gerogak, Kabupaten Buleleng.
Sebagian besar lahan itu merupakan budi daya yang diusahakan oleh kelompok petani rumput laut. Menurutnya, potensi produksi rumput laut Bali dapat mencapai 300.000 ton per tahun.
Ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) Safari Aziz mengatakan pihaknya sudah menyuarakan kepada pemerintah daerah agar memperhatikan masalah ini karena akan menurunkan produksi rumput laut. Salah satu desakan yang sempat disuarakan terkait pembuatan peraturan daerah tentang zonasi rumput laut.
Pasalnya, pembangunan pariwisata di Bali sedemikian masif dan tidak memberikan ruang bagi petani rumput laut, bahkan untuk sekadar menjemur hasil panen. Dia mengusulkan agar pemda duduk bersama dengan ARLI untuk mencari solusi bersama mengatasi persoalan ini.