Select Menu
Buah Unggul
Diberdayakan oleh Blogger.

Buleleng

Bali

Teknologi

Lifestyle

Nasional

Videos

Lokalzone - Perkubuan stasiun televisi rupanya belum selesai meski hari pencoblosan sudah usai. Malah mungkin akan berlanjut terus karena pemiliknya punya afiliasi politik bahkan menjadi petinggi partai.

Gejala ini menandakan makin besarnya pemanfaatan televisi sebagai mesin politik alias “telepolitik”. Peneliti politik Burhanuddin Muhtadi memaparkan menggejalanya telepolitik di Indonesia dalam bukunya Perang Bintang 2014: Konstelasi dan Prediksi Pemilu dan Pilpres.

Buku ini memaparkan banyak temuan-temuan riset politik menjelang pemilihan umum 2014. Baik problema di antara partai maupun di kalangan pemilih dikupas agar bisa membantu memahami keriuhan yang terjadi.

Tentunya itu kalau Anda percaya dengan hasil lembaga survei, karena temuan-temuan lembaga surveilah yang mendasari argumen-argumen Burhanuddin.

Berikut ini nukilan buku terbitan NouraBooks itu:

John F. Kennedy yang muda dan tampan, serta punya gaya komunikasi memukau menghadapi Richard Nixon yang lupa merapikan rambut dan mencukur jenggotnya dalam debat calon presiden Amerika Serikat. Pendengar radio berpendapat Nixon lebih menguasai materi dibanding Kennedy.

Nahas bagi Nixon, itulah debat pertama yang disiarkan di televisi. Berkat debat pada 26 September 1960 yang ditonton 70 juta pemirsa itu, Kennedy yang lebih apik di televisi yang melaju ke Gedung Putih.

Ahli studi kebudayaan Michael Bauman menilai debat televisi itulah penanda dimulainya telepolitik.

Dalam fenomena itu, kata Bauman, peran partai dalam mempersuasi pemilih perlahan-lahan digantikan oleh televisi.

Televisi mampu menembus batas-batas yang selama ini merintangi partai dan bahkan dengan mudahnya masuk ke ruang keluarga. Pemilih tak perlu repot-repot datang ke acara partai, lebih praktis dan tak merepotkan.

Burhanuddin menulis, Lembaga Survei Indonesia menemukan gejala telepolitik saat meneliti hubungan memori dan intensitas pemilih terhadap ilan-iklan partai serta dampaknya terhadap elektabilits partai. “Hasilnya ditemukan bahwa persaingan antarpartai di Indonesia makin lama makin dipengaruhi televisi,” kata Burhan.

Temuan itu, kata dia, menunjukkan televisi jadi medium utama sosialisasi informasi politik. Juga alat persuasi politik yang paling mudah diakses oleh pemilih. “Organisasi partai makin lama makin kehilangan relevansi sebagai saluran sosialisasi politik,” ujarnya.

Bukti telepolitik ini muncul dalam hasil riset LSI pada Januari 2009 yang antara lain menemukan meningkatnya elektabilitas Partai Demokrat dan Partai Gerakan Indonesia Raya. Penelitian itu mendapati naiknya elektabilitas kedua partai itu karena penerimaan publik terhadap iklan-iklan politik yang ditayangkan secara masif di televisi.

Memori pemilih ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh iklan televisi ketimbang iklan di media lainnya. Burhan mencontohkan popularitas Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilihan umum 2009 terbantu oleh iklan keberhasilan pemerintahannya. Saat itu sekitar 43 persen responden menyatakan siap memilihnya.

Televisi tak cuma dipakai sebagai media iklan politik. “Gejala telepolitik ini bahkan mempengaruhi elit partai dalam merekrut caleg,” kata Burhan. Artis yang memiliki popularitas tinggi didapuk jadi caleg dan mampu menggusur kader partai yang senior sekalipun.

Burhan mengatakan telepolitik punya dampak besar di Indonesia karena survei menunjukkan 87 persen masyarakat mendapatkan informasi politik dari layar kaca. Masalahnya informasi berupa iklan atau berita itu belum tentu benar. “Kamera bisa mengonstruksi citra jadi realitas,” kata Burhan.

Bauman justru menyatakan kamera selalu berbohong. “Kamera memermak wajah partai dan politis atau yang disebut the illussion of presence.”

Jika penonton televisi tidak kritis, maka mereka akan terjebak pencitraan partai atau politikus yang bisa jadi tak sesuai dengan aslinya. Burhan merujuk pada perkataan Jozef Goebbels, Menteri Propaganda-nya Adolf Hitler. “Kebohongan yang diulang berkali-kali akan menjadi kebenaran yang dipercaya publik.”

Namun telepolitik ini punya efek samping, yakni partai terlalu mengandalkan televisi sebagai mesin politik. “Menguatnya iklan politik bisa mendorong partai lebih mengedepankan 'serangan udara' ketimbang kerja konkret di lapangan,” kata Burhan. “Kampanye via media massa sebenarnya cuma pelengkap dari kerja konkret partai yang langsung bisa dirasakan masyarakat.”

Selengkapnya bisa dibaca di buku: "Perang Bintang 2014; Konstelasi dan Prediksi Pemilu dan Pilpres" yang ditulis oleh Burhanuddin Muhtadi
- -