Select Menu
Buah Unggul
Diberdayakan oleh Blogger.

Buleleng

Bali

Teknologi

Lifestyle

Nasional

Videos

LokalZone - Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana, ST didampingi Wakil Bupati Buleleng, dr. I Nyoman Sutjidra, Sp.OG bersama Dirut RSUD Kabupaten Buleleng dr. Gede Wiartana, M.Kes dan dari pihak konsultan perencana melakukan sidak ke RSUD Kabupaten Buleleng, Senin (27/7/2015). 

Dalam kesempatan ini, Bupati Agus menyebutkan bahwa Grand Design yang dibuat oleh konsultan dari perencana pengembangan RSUD Kabupaten Buleleng menunjukkan bahwa secara keseluruhan pengembangan dilakukan secara radikal namun terkendala dengan operasional rumah sakit yang sedang berjalan. Bupati Agus juga mengatakan bahwa pihaknya juga berpikir untuk menambah jumlah kamar di RSUD Kabupaten Buleleng. 

“Nanti jenisnya kita sesuaikan, kan ada hubungan antara pertumbuhan rumah sakit sendiri dan pertumbuhan rumah sakit secara ekonomi, jadi ini harus dihitung juga, bukan hanya berpikir tentang jumlah kamar saja”, katanya. 

Bupati Agus juga menambahkan pihaknya juga berpikir ke depan bagaimana dokter spesialis tertarik datang ke Buleleng karena jumlah kamar yang cukup dan jaspel yang cukup. Bupati Agus juga berharap di tahun 2017 dapat membangun 100 kamar kelas satu.

Di sela-sela sidak ke RSUD Kabupaten Buleleng, Bupati Buleleng juga menyoroti Kantor Lurah Kendran dan langsung melakukan sidak ke kantor Kelurahan yang telah kosong itu. “Ini kantor lurah, ketika saya datang jam 3 kurang 10 menit ga ada lurahnya, besok pagi saya akan panggil Lurahnya”, tambah Bupati Agus.
-
LokalZone - Sekalipun Indonesia tidak menganut paham integralistik dalam hal relasi agama dan negara, lanskap ketatanegaraan kita menyediakan ruang-ruang eksperimentasi yang begitu luas bagi integrasi keduanya.

Dalam konteks ini, salah satu pintu masuk bagi integrasi agama dan negara adalah melalui proses pembuatan hukum (law-making process) yang memungkinkan diksi-diksi hukum berbasis doktrin agama dapat "menyelinap" masuk ke dalam struktur perundangan atau ketatanegaraan kita.

Kontroversi batasan usia perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 khususnya Pasal 7 Ayat (1) dan (2) dan peraturan daerah (perda) tentang jam malam bagi perempuan di Aceh merupakan sekelumit contoh eksperimentasi dimaksud. Integrasi agama-negara bisa bermakna positif manakala diksi-diksi agama yang dimasukkan mengandung nilai-nilai universal yang sejalan dengan keadaban publik. Sebaliknya, integrasi keduanya bisa kontraproduktif jika aspek agama yang dimasukkan hanya bersifat "copas" (copy-paste) dan tidak kontekstual.

Pembusukan ruang publik

Penggunaan argumentasi agama dalam proses pembuatan hukum yang serampangan, tidak proporsional, dan tidak kontekstual dapat memicu terjadinya apa yang oleh Erich Fromm (The Heart of Man, 1964:23) disebut sebagai "sindrom pembusukan", yakni kondisi yang mengarah pada penurunan kualitas kehidupan dan keadaban publik. Artinya, tidak semua doktrin agama dapat dicangkokkan secara mentah-mentah ke dalam struktur ketatanegaraan kita jika di dalamnya tidak ditemukan rasionalitas publik yang mewadahi.

Sebuah diksi hukum dapat dipastikan terikat dengan konteks lokus dan tempus tertentu yang mengitarinya. Batas usia perkawinan 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria adalah argumentasi agama yang memiliki nalar pembenarannya pada lokus dan tempus tertentu. Pada masa lalu, ukuran tersebut sangat rasional. Kakek-nenek kita bahkan dinikahkan pada usia yang jauh lebih belia dari batasan usia di atas. Meski demikian, batasan usia tersebut dinilai tidak layak lagi dipertahankan karena perubahan konteks zaman. Karena itu, batas-batas usia tersebut bukanlah ukuran absolut.

Argumentasi yang sama juga berlaku bagi ketentuan jam malam bagi kaum hawa. Ketentuan semacam ini tidak saja merefleksikan diskriminasi jender di ruang publik, tetapi juga mencerminkan involusi hukum. Memang, pemberlakuan jam malam bagi wanita memiliki nilai relevansi pada konteks ruang dan waktu tertentu ketika ketentuan itu dihasilkan. Pada saat yang lain, ketika infra dan suprastruktur kenegaraan dapat menjamin keselamatan (dan seharusnya memang demikian) bagi setiap warganya, maka ketentuan itu menjadi tidak produktif lagi.


Memang, pengintegrasian agama ke dalam struktur negara bukan merupakan hal yang tabu dilakukan sepanjang ia memiliki rasionalitas publik yang adekuat. Di sejumlah negara Barat pun nilai-nilai Injil juga banyak mewarnai peraturan perundangan yang berlaku (David Hollenbach, 2002). Dalam hal ini, nilai-nilai agama yang dapat diadopsi ke dalam struktur kenegaraan adalah nilai-nilai etika yang dapat mendorong pada "sindrom pertumbuhan" (kebalikan dari "sindrom pembusukan"), seperti penghormatan terhadap nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesederajatan, kemanusiaan, dan semacamnya.

Dalam terminologi pemikiran Islam, peraturan perundangan merupakan produk hukum yang harus mengandung nilai-nilai kemaslahatan publik (al-maslahah al-ammah). Al-Syatibi (w. 790 H/1355 M), seorang juris Muslim kelahiran Spanyol, secara cerdas mengartikulasikan lima hal mendasar (al-dlaruriyat al-khams) sebagai pilar bagi sebuah peraturan perundangan; 1) menjaga akal; 2) menjaga jiwa; 3) menjaga keturunan; 4) menjaga harta; dan 5) menjaga agama. Pendek kata, penyerapan doktrin agama ke ruang publik bukanlah hal jelek sepanjang dijustifikasi oleh rasionalitas publik yang mewadahi.

Integrasi lunak

Dalam konteks relasi agama-negara, memasukkan doktrin agama ke dalam struktur ketatanegaraan yang dilakukan secara harfiah, tidak proporsional dan tidak kontekstual dapat diklasifikasikan sebagai "integrasi keras" (hard integration). Dalam tradisi politik Islam, integrasi keras ini terefleksi dalam doktrin Islam sebagai agama (din) dan kekuasaan (dawlah) sekaligus. Abu-l A'la al-Mawdudi (1903- 1979), seorang pemikir Muslim Pakistan, merupakan salah seorang penganjur doktrin "integrasi keras" ini.

Dalam kondisi ekstrem, pola "integrasi keras" dapat mengarah pada penciptaan negara teokrasi, yakni sebuah negara yang didasarkan pada satu agama (tertentu). Kondisi semacam ini jelas tidak relevan dengan kebutuhan bangsa kita yang majemuk, selain kontraproduktif dengan bangunan konstitusi negara kita. Justru di dalam model semacam ini terdapat kecenderungan peragian sosial atas doktrin agama yang mengarah pada "sindrom pembusukan". Dalam rezim teokrasi, demokrasi diharamkan karena dianggap pemberontakan terhadap kedaulatan Tuhan.

Kebalikannya, "integrasi lunak" (soft integration) adalah memasukkan doktrin agama ke dalam struktur negara yang dilakukan secara substantif, proporsional, dan kontekstual. Dalam konstruk negara semacam ini, doktrin agama bisa dimasukkan ke dalam struktur ketatanegaraan sepanjang ia menopang terciptanya "sindrom pertumbuhan", bukan "sindrom pembusukan". Doktrin-doktrin agama yang dimasukkan harus memiliki rasionalitas publik yang dapat diukur dan diobyektivikasi oleh nilai-nilai keba(j)ikan publik yang bersifat non-partisan.

Jika boleh memilih, maka "integrasi lunak" adalah opsi yang paling realistis bagi Indonesia yang menganut paham negara "bukan-bukan" (bukan sekuler dan bukan agama). Konstruk negara sekuler terbukti banyak ditolak karena menegasikan peran agama dalam ruang publik, sekaligus mengabaikan akar-akar historis kemenyatuan keduanya dalam lanskap ketatanegaraan kita. Di sisi lain, negara agama (teokrasi) juga ditolak karena cenderung mengabaikan heterogenitas bangsa yang terdiri dari berbagai macam agama, adat, dan tradisi.

Sir Muhammad Iqbal, dalam karyanya yang sudah menjadi klasik, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (2004:15), menegaskan pentingnya mengambil api Islam, bukan abu Islam. Api adalah analogi bagi semangat liberatif-transformatif yang tetap menyala dalam segala kondisi yang dapat mendorong terciptanya "sindrom pertumbuhan" di kalangan pemeluknya. Sementara itu, abu Islam adalah produk-produk pemikiran masa lalu yang tidak kontekstual dengan semangat zaman. Jadi, yang dimasukkan ke dalam struktur negara adalah semangat liberatif-transformatif agama.

"Sindrom pertumbuhan" sebagaimana dikehendaki oleh konstruk negara "integrasi lunak" pada akhirnya mengarah pada penciptaan segala bentuk state of well-being (kesejahteraan, lahir-material maupun batin-spiritual). Integrasi agama-negara harus memperhatikan lima nilai dasar di atas. Di tingkat praksis, integrasi agama-negara harus mendorong bagi meningkatnya segala bentuk state of well-being dimaksud seperti meningkatnya usia harapan hidup, indeks pembangunan manusia, indeks demokrasi, indeks kebebasan, sekaligus menurunnya penderita gizi buruk, kematian ibu melahirkan, indeks korupsi, dan sejenisnya.

Masdar Hilmy
Akademisi, Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "Integrasi Agama dan Negara".
LokalZone - Berasal dari keluarga sederhana, remaja berusia 15 tahun bernama Sushma Verma telah berhasil mengangkat derajat keluarganya berkat prestasi yang ia ukir. Belum genap 17 tahun, bocah jenius dari India ini tak sekadar berhasil menyelesaikan studi pasca sarjananya dalam waktu yang sangat cepat, namun juga dengan hasil terbaik.

Dilansir dari Hindustan Times, Sabtu, (25/7/2015), saat ini, remaja kelahiran Februari 2000 itu bersiap menjadi mahasiswa termuda untuk jenjang S3 dan melakukan penelitian di bidang mikrobiologi lingkungan di Babasaheb Bhimrao Ambedkar University (BBAU) di Lucknow.

"Saya sangat bahagia mencapai prestasi ini. Ini merupakan prestasi yang sangat besar. Saya berutang budi kepada Prof RC Sobti, wakil rektor universitas, yang selalu mendukung saya dalam mencapai ini," kata Sushma.

Kepala Dekan jurusan mikrobioligi lingkungan mengatakan setidaknya hanya ada 7 kursi untuk mahasiswa berprestasi yang mendapat beasiswa Universitas. Kini 4 kursi telah terisi dan salah satu kursi itu milik Sushma.

"Kami bangga dengan prestasinya. Kami harus memberi dukungan penuh dan memberikan yang terbaik untuknya. Ia adalah anak yang istimewa. Ia sangat berprestasi di usianya yang masih sangat belia," ujar Wakil Rektor Profesor RC Sobtiseperti.

Sushma berasal dari keluarga yang sederhana. Ayahnya, Tej Bahadur, bekerja di Universitas sebagai petugas kebersihan kamar mandi. Sementara ibunya, Chaya Devi, adalah seorang ibu rumah tangga. Terhadap prestasi gemilang putrinya, sang ayah sampai tak bisa berkata-kata untuk mengungkapkan kebahagiaannya selain bersyukur pada Tuhan. "Saya buta huruf dan tidak bisa membimbing anak-anak," ujar Bahadur.

Menurut laporan yang ada, pada usia 5 tahun Sushma telah terdaftar sebagai siswa kelas IX di Sekolah St Meera's Inter-College. Ia juga telah menyelesaikan studinya di kelas X hanya dalam waktu 3 bulan saja. Di usianya yang ke 13, remaja cerdas ini telah berhasil lulus sarjana (S1).

Sushma Verma diantar sang ayah ke kampus (foto: thebetterindia.com)
- -
LokalZone - Nasib tragis dialami oleh seorang bocah cilik yang masih duduk di kelas dua SD, sebut saja namanya Sekar (8), Tejakula, yang masih belum paham akan arti kehidupan justru harus mengalami pemerkosaan berulangkali oleh tetangganya sendiri.

Berdasarkan keterangan pers dari Kasat Reskrim Polres Buleleng AKP Ketut Adnyana TJ, Senin (27/7/2015) di ruang Humas Polres Buleleng menyebutkan ulah bejat yang dilakukan oleh Gede Merta alias Mangku dimulai saat korban dititipkan oleh orang tuanya untuk bekerja.

"Korban sering dititipkan oleh pelaku, karena orang tua korban bekerja. Pada saat itu pelaku melakukan kekerasan pada anak ini dan mengikat tangan lalu disetubuhi oleh pelaku, karena mengalami rasa sakit akhirnya korban menceritakan kepada orang tuannya dan selanjutnya silaporkan kepada kami," ungkap Adnyana TJ.

Selain itu dalam pemeriksan oleh penyidik juga diketahui Mangku telah mensetubuhi Sekar sebanyak empat kali dan terakhir dilakukan pada bulan Januari 2015 lalu.

Sedangkan ketika ditanyakan alasannya melakukan perbuatannya itu Mangku mengaku tidak memiliki alasan khusus untuk mencabuli korban dan berdalih Sekar juga menyukainya. "Ya gitu dah ditidurin. Gak ada alasan apa-apa, kemungkinan anak kecil itu juga suka," dalihnya.

Untuk mengurangi adanya trauma psikis pihak Kepolisian meminta pihak media untuk tidak menyebutkan identitas korban secara rinci, serta akan bekerjasama dengan lembaga masyarakat untuk membantu memulihkan psikis korban. "Namanya Luh Sekar, namanya jangan disebut. untuk membantu pemilihan psikis korban kami akan bekerjasama dengan LSM APIK untuk membantu pemulihan diri termasuk di sekolah," ujar Adnyana TJ.

Akibat perbuatannya kini Mangku terpaksa harus berurusan dengan pihak Kepolisian dan mendekam di ruang tahanan Polres Buleleng dan dijerat Pasal 81 UU No.23 tahun 2002 dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara.
- - -