Lokal-zone.com - Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali menargetkan produksi garam pada 2016 ini sebanyak 5.768,11 ton. Target tersebut dilihat dari rata-rata pertumbuhan produksi setiap tahunnya.
Berdasarkan catatan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, selama empat tahun terakhir produksi garam di Bali yaitu 6.514,72 ton selama 2012, turun menjadi 4.982,71 ton selama 2013, kemudian naik kembali menjadi 7.889,52 ton, dan pada 2015 kemarin mengalami peningkatan cukup tinggi menjadi 11.554,59 ton.
I Made Gunaja, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, mengatakan bahwa pihaknya tidak bisa menargetkan terlalu tinggi meskipun capaian tahun lalu lebih dari 11.000 ton.
“Hal tersebut dikarenakan untuk produksi garam tergantung pada cuaca . Peningkatan pada 2015 lalu karena cuaca saat itu cukup mendukung, dimana musim panas lumayan panjang sehingga waktu produksi juga lebih lama,” tegasnya saat ditemui di Denpasar, Jumat (8/4/2016).
Guna meningkatkan produksi garam di Bali, lanjutnya, pihaknya mengembangkan dengan teknologi bio isolator meskipun jika dilihat dari kualitas dan harga dinilai lebih rendah daripada diproduksi dengan cara konvensional.
“Dari segi produksi mungkin bisa ditingkatkan dengan menggunakan teknologi tersebut, namun jika dilihat dari kualitas dan harga jauh lebih rendah. Bahkan, petani garam binaan kami di Amed, Karangasem lebih menginginkan dukungan fasilitas palung ketimbang bio isolator tersebut,” ujarnya.
Pihaknya pun berharap bahwa kedepannya para petani garam di Amed tersebut bisa mengolah atau memurnikan garam yang dibeli dari luar sehingga dapat dijual dengan harga lebih tinggi.
“Selain itu, kami juga menginginkan agar petani kita memproduksi garam krosok sehingga bahan baku tidak didatangkan dari luar. Dengan demikian hasilnya bisa dinikmati langsung oleh masyarakat,” terangnya.
Gunaja mengaku secara produksi garam memang mengalami peningkatan namun luas lahan produksi garam di Bali sendiri cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun, karena lahan-lahan tersebut kebanyakan diminati investor pariwisata.
Pihaknya mencatat pada 2015 lalu luas lahan produksi garam di Bali hanya 119,14 hektar, dimana yang paling luas berada di Kabupaten Buleleng.
“Kabupaten yang masih memiliki lahan terluas yakni Buleleng dengan luas 100 hektar, selanjutnya disusul oleh Karangasem 10,42 hektar. Sedangkan luas lahan produksi garam di Denpasar, Badung, Tabanan, Jembrana, Klungkung, dan Gianyar adalah kurang dari 10 hektar,” paparnya. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali menargetkan produksi garam pada 2016 ini sebanyak 5.768,11 ton. Target tersebut dilihat dari rata-rata pertumbuhan produksi setiap tahunnya.
Berdasarkan catatan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, selama empat tahun terakhir produksi garam di Bali yaitu 6.514,72 ton selama 2012, turun menjadi 4.982,71 ton selama 2013, kemudian naik kembali menjadi 7.889,52 ton, dan pada 2015 kemarin mengalami peningkatan cukup tinggi menjadi 11.554,59 ton.
I Made Gunaja, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, mengatakan bahwa pihaknya tidak bisa menargetkan terlalu tinggi meskipun capaian tahun lalu lebih dari 11.000 ton.
“Hal tersebut dikarenakan untuk produksi garam tergantung pada cuaca . Peningkatan pada 2015 lalu karena cuaca saat itu cukup mendukung, dimana musim panas lumayan panjang sehingga waktu produksi juga lebih lama,” tegasnya saat ditemui di Denpasar, Jumat (8/4/2016).
Guna meningkatkan produksi garam di Bali, lanjutnya, pihaknya mengembangkan dengan teknologi bio isolator meskipun jika dilihat dari kualitas dan harga dinilai lebih rendah daripada diproduksi dengan cara konvensional.
“Dari segi produksi mungkin bisa ditingkatkan dengan menggunakan teknologi tersebut, namun jika dilihat dari kualitas dan harga jauh lebih rendah. Bahkan, petani garam binaan kami di Amed, Karangasem lebih menginginkan dukungan fasilitas palung ketimbang bio isolator tersebut,” ujarnya.
Pihaknya pun berharap bahwa kedepannya para petani garam di Amed tersebut bisa mengolah atau memurnikan garam yang dibeli dari luar sehingga dapat dijual dengan harga lebih tinggi.
“Selain itu, kami juga menginginkan agar petani kita memproduksi garam krosok sehingga bahan baku tidak didatangkan dari luar. Dengan demikian hasilnya bisa dinikmati langsung oleh masyarakat,” terangnya.
Gunaja mengaku secara produksi garam memang mengalami peningkatan namun luas lahan produksi garam di Bali sendiri cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun, karena lahan-lahan tersebut kebanyakan diminati investor pariwisata.
Pihaknya mencatat pada 2015 lalu luas lahan produksi garam di Bali hanya 119,14 hektar, dimana yang paling luas berada di Kabupaten Buleleng.
“Kabupaten yang masih memiliki lahan terluas yakni Buleleng dengan luas 100 hektar, selanjutnya disusul oleh Karangasem 10,42 hektar. Sedangkan luas lahan produksi garam di Denpasar, Badung, Tabanan, Jembrana, Klungkung, dan Gianyar adalah kurang dari 10 hektar,” paparnya.
Berdasarkan catatan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, selama empat tahun terakhir produksi garam di Bali yaitu 6.514,72 ton selama 2012, turun menjadi 4.982,71 ton selama 2013, kemudian naik kembali menjadi 7.889,52 ton, dan pada 2015 kemarin mengalami peningkatan cukup tinggi menjadi 11.554,59 ton.
I Made Gunaja, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, mengatakan bahwa pihaknya tidak bisa menargetkan terlalu tinggi meskipun capaian tahun lalu lebih dari 11.000 ton.
“Hal tersebut dikarenakan untuk produksi garam tergantung pada cuaca . Peningkatan pada 2015 lalu karena cuaca saat itu cukup mendukung, dimana musim panas lumayan panjang sehingga waktu produksi juga lebih lama,” tegasnya saat ditemui di Denpasar, Jumat (8/4/2016).
Guna meningkatkan produksi garam di Bali, lanjutnya, pihaknya mengembangkan dengan teknologi bio isolator meskipun jika dilihat dari kualitas dan harga dinilai lebih rendah daripada diproduksi dengan cara konvensional.
“Dari segi produksi mungkin bisa ditingkatkan dengan menggunakan teknologi tersebut, namun jika dilihat dari kualitas dan harga jauh lebih rendah. Bahkan, petani garam binaan kami di Amed, Karangasem lebih menginginkan dukungan fasilitas palung ketimbang bio isolator tersebut,” ujarnya.
Pihaknya pun berharap bahwa kedepannya para petani garam di Amed tersebut bisa mengolah atau memurnikan garam yang dibeli dari luar sehingga dapat dijual dengan harga lebih tinggi.
“Selain itu, kami juga menginginkan agar petani kita memproduksi garam krosok sehingga bahan baku tidak didatangkan dari luar. Dengan demikian hasilnya bisa dinikmati langsung oleh masyarakat,” terangnya.
Gunaja mengaku secara produksi garam memang mengalami peningkatan namun luas lahan produksi garam di Bali sendiri cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun, karena lahan-lahan tersebut kebanyakan diminati investor pariwisata.
Pihaknya mencatat pada 2015 lalu luas lahan produksi garam di Bali hanya 119,14 hektar, dimana yang paling luas berada di Kabupaten Buleleng.
“Kabupaten yang masih memiliki lahan terluas yakni Buleleng dengan luas 100 hektar, selanjutnya disusul oleh Karangasem 10,42 hektar. Sedangkan luas lahan produksi garam di Denpasar, Badung, Tabanan, Jembrana, Klungkung, dan Gianyar adalah kurang dari 10 hektar,” paparnya. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali menargetkan produksi garam pada 2016 ini sebanyak 5.768,11 ton. Target tersebut dilihat dari rata-rata pertumbuhan produksi setiap tahunnya.
Berdasarkan catatan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, selama empat tahun terakhir produksi garam di Bali yaitu 6.514,72 ton selama 2012, turun menjadi 4.982,71 ton selama 2013, kemudian naik kembali menjadi 7.889,52 ton, dan pada 2015 kemarin mengalami peningkatan cukup tinggi menjadi 11.554,59 ton.
I Made Gunaja, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, mengatakan bahwa pihaknya tidak bisa menargetkan terlalu tinggi meskipun capaian tahun lalu lebih dari 11.000 ton.
“Hal tersebut dikarenakan untuk produksi garam tergantung pada cuaca . Peningkatan pada 2015 lalu karena cuaca saat itu cukup mendukung, dimana musim panas lumayan panjang sehingga waktu produksi juga lebih lama,” tegasnya saat ditemui di Denpasar, Jumat (8/4/2016).
Guna meningkatkan produksi garam di Bali, lanjutnya, pihaknya mengembangkan dengan teknologi bio isolator meskipun jika dilihat dari kualitas dan harga dinilai lebih rendah daripada diproduksi dengan cara konvensional.
“Dari segi produksi mungkin bisa ditingkatkan dengan menggunakan teknologi tersebut, namun jika dilihat dari kualitas dan harga jauh lebih rendah. Bahkan, petani garam binaan kami di Amed, Karangasem lebih menginginkan dukungan fasilitas palung ketimbang bio isolator tersebut,” ujarnya.
Pihaknya pun berharap bahwa kedepannya para petani garam di Amed tersebut bisa mengolah atau memurnikan garam yang dibeli dari luar sehingga dapat dijual dengan harga lebih tinggi.
“Selain itu, kami juga menginginkan agar petani kita memproduksi garam krosok sehingga bahan baku tidak didatangkan dari luar. Dengan demikian hasilnya bisa dinikmati langsung oleh masyarakat,” terangnya.
Gunaja mengaku secara produksi garam memang mengalami peningkatan namun luas lahan produksi garam di Bali sendiri cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun, karena lahan-lahan tersebut kebanyakan diminati investor pariwisata.
Pihaknya mencatat pada 2015 lalu luas lahan produksi garam di Bali hanya 119,14 hektar, dimana yang paling luas berada di Kabupaten Buleleng.
“Kabupaten yang masih memiliki lahan terluas yakni Buleleng dengan luas 100 hektar, selanjutnya disusul oleh Karangasem 10,42 hektar. Sedangkan luas lahan produksi garam di Denpasar, Badung, Tabanan, Jembrana, Klungkung, dan Gianyar adalah kurang dari 10 hektar,” paparnya.