LokalZone - Cipratan tinta pada kanvas membentuk figur manusia mirip robot. Berwarna cerah, dia menggenggam kapak pada tangan kiri. Manusia ini menunjuk ranting yang berada di bawah pohon. Kaki kiri berotot kuat menginjak dahan pohon. Tanaman itu mentiung dan merana. Bayangan hitam dari gerakan figur orang itu menjadi latar.
Lukisan berbahan akrilik pada kanvas berukuran 130 x 150 sentimeter itu adalah karya seniman asal Bali, I Gede Oka Astawa, berjudul Yang di Bawah yang Terinjak. Gambar ini tampil dalam pameran tunggal berjudul “(Un) disposable Nature Alam (Bukan) Sekali Pakai” di Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta, 6-19 April 2015. Ada 13 lukisan dan satu karya seni instalasi limbah ranting kayu yang dipamerkan. Kumpulan kayu bekas bergelantungan diikat senar.
Hampir semua karya Astawa memotret wajah alam yang rusak karena ulah manusia. Proyek pembangunan hotel, fasilitas olahraga, dan jalan menggusur pepohonan yang tumbuh subur di Bali. Alumnus Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, itu mengajak orang untuk peduli pada kerusakan alam dan melakukan usaha untuk memperbaikinya. "Menanam pohon, selagi bisa, merupakan satu di antara solusi mengatasi kehancuran alam," katanya.
Menurut Astawa, orang tak cukup hanya berdiam diri dan mengecam setelah menyaksikan kerusakan bumi. Menanam pohon atau bergerak untuk memprotes eksploitasi alam adalah usaha nyata yang bisa dilakukan. Dia melukis bagaimana orang menanam pohon dalam karya lain berukuran 200 x 300 sentimeter berjudul Menanam Selagi Bisa.
Dalam karya itu, muncul figur manusia bertubuh dominan warna hijau sedang menanam pohon. Ada tiga bibit pohon yang tumbuh di antara tanah lapang miskin tanaman.
Astawa menuturkan ide karyanya muncul setelah melihat perubahan lingkungan di Bali pada 2014. Pembangunan hotel dan berbagai proyek fasilitas tak terkendali. Sawah penduduk kian berkurang akibat proyek itu. Pepohonan tumbang, digantikan banyak bangunan.
Astawa lalu bicara dengan penduduk yang tinggal di situ. Mereka menjadi tak berdaya karena ulah investor perusak alam demi mencapai keuntungan ekonomi semata tersebut. Astawa kemudian menanam sepuluh pohon di sana. "Beberapa orang lalu ikut menanam pohon di sana," ucapnya.
Dari situ, Astawa terinspirasi membuat 14 karya di studio seni di Kampung Suruhan, Timbulharjo, Sewon, Bantul. Dia perlu satu bulan lebih untuk menciptakan semua karyanya.
Semua lukisannya menggunakan teknik cutting kolase, yakni teknik pengembangan dari teknik ciprat. Cipratan cat yang meleleh dia potong mengikuti alur lelehan. Cipratan itu kemudian dia tempel pada potongan cipratan di bidang kanvas hingga membentuk figur manusia.
Astawa kerap menggelar pameran tunggal pada 2008-2015. Seniman ini lahir 6 Juni 1989 di Desa Pangkung Tibah, Kediri, Tabanan, Bali. Dia banyak meraih penghargaan seni. Di antaranya finalis Pratisara Affandi Adhi Karya 2012.
Penulis pameran tunggal itu, Hendra Himawan, mengatakan karya Astawa mencoba mempertemukan efek-efek antara kultur dan natur. Manusia dan alam serta dampak eksploitasi kultur manusia mengubah wajah alam dan peradaban.
Alam bukan semata-mata lingkungan, tapi juga kultur. Alam berarti rumah dengan segenap dimensi potensi dan persoalan. "Gagasan seni Astawa kembali ke alam, kembali ke tubuh diri dan tubuh sosial," ujarnya. (tempo)
Lukisan berbahan akrilik pada kanvas berukuran 130 x 150 sentimeter itu adalah karya seniman asal Bali, I Gede Oka Astawa, berjudul Yang di Bawah yang Terinjak. Gambar ini tampil dalam pameran tunggal berjudul “(Un) disposable Nature Alam (Bukan) Sekali Pakai” di Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta, 6-19 April 2015. Ada 13 lukisan dan satu karya seni instalasi limbah ranting kayu yang dipamerkan. Kumpulan kayu bekas bergelantungan diikat senar.
Hampir semua karya Astawa memotret wajah alam yang rusak karena ulah manusia. Proyek pembangunan hotel, fasilitas olahraga, dan jalan menggusur pepohonan yang tumbuh subur di Bali. Alumnus Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, itu mengajak orang untuk peduli pada kerusakan alam dan melakukan usaha untuk memperbaikinya. "Menanam pohon, selagi bisa, merupakan satu di antara solusi mengatasi kehancuran alam," katanya.
Menurut Astawa, orang tak cukup hanya berdiam diri dan mengecam setelah menyaksikan kerusakan bumi. Menanam pohon atau bergerak untuk memprotes eksploitasi alam adalah usaha nyata yang bisa dilakukan. Dia melukis bagaimana orang menanam pohon dalam karya lain berukuran 200 x 300 sentimeter berjudul Menanam Selagi Bisa.
Dalam karya itu, muncul figur manusia bertubuh dominan warna hijau sedang menanam pohon. Ada tiga bibit pohon yang tumbuh di antara tanah lapang miskin tanaman.
Astawa menuturkan ide karyanya muncul setelah melihat perubahan lingkungan di Bali pada 2014. Pembangunan hotel dan berbagai proyek fasilitas tak terkendali. Sawah penduduk kian berkurang akibat proyek itu. Pepohonan tumbang, digantikan banyak bangunan.
Astawa lalu bicara dengan penduduk yang tinggal di situ. Mereka menjadi tak berdaya karena ulah investor perusak alam demi mencapai keuntungan ekonomi semata tersebut. Astawa kemudian menanam sepuluh pohon di sana. "Beberapa orang lalu ikut menanam pohon di sana," ucapnya.
Dari situ, Astawa terinspirasi membuat 14 karya di studio seni di Kampung Suruhan, Timbulharjo, Sewon, Bantul. Dia perlu satu bulan lebih untuk menciptakan semua karyanya.
Semua lukisannya menggunakan teknik cutting kolase, yakni teknik pengembangan dari teknik ciprat. Cipratan cat yang meleleh dia potong mengikuti alur lelehan. Cipratan itu kemudian dia tempel pada potongan cipratan di bidang kanvas hingga membentuk figur manusia.
Astawa kerap menggelar pameran tunggal pada 2008-2015. Seniman ini lahir 6 Juni 1989 di Desa Pangkung Tibah, Kediri, Tabanan, Bali. Dia banyak meraih penghargaan seni. Di antaranya finalis Pratisara Affandi Adhi Karya 2012.
Penulis pameran tunggal itu, Hendra Himawan, mengatakan karya Astawa mencoba mempertemukan efek-efek antara kultur dan natur. Manusia dan alam serta dampak eksploitasi kultur manusia mengubah wajah alam dan peradaban.
Alam bukan semata-mata lingkungan, tapi juga kultur. Alam berarti rumah dengan segenap dimensi potensi dan persoalan. "Gagasan seni Astawa kembali ke alam, kembali ke tubuh diri dan tubuh sosial," ujarnya. (tempo)