LokalZone - Biji salak mungkin hanyalah sampah yang tidak bermanfaat bagi sebagian besar orang. Tetapi jika jeli melihat peluang, biji salak bisa disulap menjadi sumber uang hingga puluhan juta rupiah. Tak percaya?
Eko Yulianto, 27 tahun, sudah membuktikannya. Pria asal Wonosobo, Jawa Tengah ini mendulang fulus lewat usaha pengolahan limbah salak, termasuk biji dan kulitnya yang dibuatnya jadi kopi dan aksesoris, di bawah merek dagang Kiebae yang berarti “begini saja” dalam Bahasa Jawa.
Pemuda asal Dusun Bowongso RT 2 RW 1 Limbangan Kecamatan Watumalang ini berujar cikal usahanya mulai tumbuh saat dirinya masih kuliah di Unsiq (Universitas Sains Al Qur’an). Awalnya dia mengolah daging salak menjadi manisan. Namun karena ingin fokus kuliah, usahanya pun mati suri.
Tamat kuliah Eko sempat berkarir sebagai customer service dan teller di perbankan selama 3 tahun. Tetapi kemauannya untuk menjadi pengusaha lebih kuat. Eko memutuskan resign sejak Desember 2013 lalu dan mulai serius mengolah salak.
Bermodalkan uang Rp500.000, Eko mulai membeli alat-alat seperti wajan untuk mengolah biji salak menjadi kopi. Dia mengumpulkan “sampah” salak pondoh, yakni salak berukuran kecil dari ladang warga sekitar rumahnya.
“Bahan bakunya melimpah. Di ladang itu banyak salak-salak yang rontok, yang tidak terjual. Salak itu biasanya dibiarkan begitu saja dan tidak dipungut karena dianggap tak laku,” kata dia kepada Bisnis Indonesia, di Jakarta.
Berawal beberapa kali eksperimen yang gagal, Eko akhirnya berhasil menemukan cara mengolah salak menjadi kopi dengan citarasa yang enak dilidah. Prosesnya biasanya memakan waktu seminggu mulai dari menjemur biji salak, menyangrai, menumbuk sampai halus pakai lumpang hingga menyaring bubuknya.
Tak hanya bijinya, Eko juga berkreasi mengolah daging buah salak menjadi aneka makanan seperti keripik, dodol, bolu, stik. Sementara kulitnya dimanfaatkan menjadi kerajinan seperti bros. Dia merekrut ibu-ibu dari kelompok tani di desanya sebagai tenaga kerja.
Pekan lalu, ayah satu anak ini memboyong produk-produk olahannya ke hadapan para dewan juri Citi Entrepreneurship Awards (CMA). Atas inovasinya, pria yang ramah senyum ini didaulat menjadi yang terbaik untuk kategori wirausaha mikro berwawasan lingkungan CMA 2014.\
“Kalau dibilang kopi salak, orang masih penasaran. ‘masa sih biji salak bisa jadi kopi’. Makanya untuk mengenalkan produk kita harus berani juga kasih tester,” kata Eko sambil menyodorkan secangkir kopi.
Secara kasat mata, minuman tersebut tak jauh beda dengan kopi pada umumnya. Yang membedakan adalah aromanya, yakni aroma salak yang masih tercium. Begitu juga soal rasa, kopi biji salak lebih segar dan agak asam serta agak lebih ringan di lidah dibanding kopi dari biji kopi.
“Ini sudah diperiksa di dinas kesehatan sudah lolos, ada izin pengolahan makaan industri rumah tangga. Kopi salak juga bermanfaat untuk kesehatan, terutama yang kolestrol dan darah tinggi,” tuturnya.
Eko menyebut bisnis yang dia geluti cukup menjanjikan. Meski dari segi pemasaran dia masih perlu usaha untuk mengedukasi pasar, namun usahanya dari tahun ke tahun terus bertumbuh. Tiap bulan dia memproduksi sekitar 40 kilogram kopi yang dipasarkan secara online, pameran dan distribusi ke toko-toko dan pasar-pasar.
Omset penjualannya meningkat dengan rata-rata sebesar 30%-35% per tahun. Pada tahun pertamanya 2012, Eko dan kelompok usahanya membukukan omset sekitar Rp47 juta. Tahun lalu omsetnya melejit hingga Rp82 juta dengan laba sekitar Rp30 juta.
Selain itu, usaha Eko juga mempunyai aset yang sudah terbilang besar yakni Rp60 juta, termasuk mesin giling, pengering dan sealer. Lewat kelompok usahanya, dia juga membantu kehidupan sekitar 20 orang ibu-ibu yang diberdayakannya.
“Penghasilan di bank memang lebih besar, tapi tak ada kebahagiaan, terasa hampa. Kalau sekarang waktu untuk keluarga lebih banyak. Resign itu keyakinan, yakin bahwa rejeki enggak hanya dari yang namanya gaji. Kalau rejeki enggak bakal salah alamat,” kata dia saat flashback soal keberaniannya memutuskan jadi pengusaha, sambil tertawa. (bisnis)
Eko Yulianto, 27 tahun, sudah membuktikannya. Pria asal Wonosobo, Jawa Tengah ini mendulang fulus lewat usaha pengolahan limbah salak, termasuk biji dan kulitnya yang dibuatnya jadi kopi dan aksesoris, di bawah merek dagang Kiebae yang berarti “begini saja” dalam Bahasa Jawa.
Pemuda asal Dusun Bowongso RT 2 RW 1 Limbangan Kecamatan Watumalang ini berujar cikal usahanya mulai tumbuh saat dirinya masih kuliah di Unsiq (Universitas Sains Al Qur’an). Awalnya dia mengolah daging salak menjadi manisan. Namun karena ingin fokus kuliah, usahanya pun mati suri.
Tamat kuliah Eko sempat berkarir sebagai customer service dan teller di perbankan selama 3 tahun. Tetapi kemauannya untuk menjadi pengusaha lebih kuat. Eko memutuskan resign sejak Desember 2013 lalu dan mulai serius mengolah salak.
Bermodalkan uang Rp500.000, Eko mulai membeli alat-alat seperti wajan untuk mengolah biji salak menjadi kopi. Dia mengumpulkan “sampah” salak pondoh, yakni salak berukuran kecil dari ladang warga sekitar rumahnya.
“Bahan bakunya melimpah. Di ladang itu banyak salak-salak yang rontok, yang tidak terjual. Salak itu biasanya dibiarkan begitu saja dan tidak dipungut karena dianggap tak laku,” kata dia kepada Bisnis Indonesia, di Jakarta.
Berawal beberapa kali eksperimen yang gagal, Eko akhirnya berhasil menemukan cara mengolah salak menjadi kopi dengan citarasa yang enak dilidah. Prosesnya biasanya memakan waktu seminggu mulai dari menjemur biji salak, menyangrai, menumbuk sampai halus pakai lumpang hingga menyaring bubuknya.
Tak hanya bijinya, Eko juga berkreasi mengolah daging buah salak menjadi aneka makanan seperti keripik, dodol, bolu, stik. Sementara kulitnya dimanfaatkan menjadi kerajinan seperti bros. Dia merekrut ibu-ibu dari kelompok tani di desanya sebagai tenaga kerja.
Pekan lalu, ayah satu anak ini memboyong produk-produk olahannya ke hadapan para dewan juri Citi Entrepreneurship Awards (CMA). Atas inovasinya, pria yang ramah senyum ini didaulat menjadi yang terbaik untuk kategori wirausaha mikro berwawasan lingkungan CMA 2014.\
“Kalau dibilang kopi salak, orang masih penasaran. ‘masa sih biji salak bisa jadi kopi’. Makanya untuk mengenalkan produk kita harus berani juga kasih tester,” kata Eko sambil menyodorkan secangkir kopi.
Secara kasat mata, minuman tersebut tak jauh beda dengan kopi pada umumnya. Yang membedakan adalah aromanya, yakni aroma salak yang masih tercium. Begitu juga soal rasa, kopi biji salak lebih segar dan agak asam serta agak lebih ringan di lidah dibanding kopi dari biji kopi.
“Ini sudah diperiksa di dinas kesehatan sudah lolos, ada izin pengolahan makaan industri rumah tangga. Kopi salak juga bermanfaat untuk kesehatan, terutama yang kolestrol dan darah tinggi,” tuturnya.
Eko menyebut bisnis yang dia geluti cukup menjanjikan. Meski dari segi pemasaran dia masih perlu usaha untuk mengedukasi pasar, namun usahanya dari tahun ke tahun terus bertumbuh. Tiap bulan dia memproduksi sekitar 40 kilogram kopi yang dipasarkan secara online, pameran dan distribusi ke toko-toko dan pasar-pasar.
Omset penjualannya meningkat dengan rata-rata sebesar 30%-35% per tahun. Pada tahun pertamanya 2012, Eko dan kelompok usahanya membukukan omset sekitar Rp47 juta. Tahun lalu omsetnya melejit hingga Rp82 juta dengan laba sekitar Rp30 juta.
Selain itu, usaha Eko juga mempunyai aset yang sudah terbilang besar yakni Rp60 juta, termasuk mesin giling, pengering dan sealer. Lewat kelompok usahanya, dia juga membantu kehidupan sekitar 20 orang ibu-ibu yang diberdayakannya.
“Penghasilan di bank memang lebih besar, tapi tak ada kebahagiaan, terasa hampa. Kalau sekarang waktu untuk keluarga lebih banyak. Resign itu keyakinan, yakin bahwa rejeki enggak hanya dari yang namanya gaji. Kalau rejeki enggak bakal salah alamat,” kata dia saat flashback soal keberaniannya memutuskan jadi pengusaha, sambil tertawa. (bisnis)