Jakarta
Kasus penembakan terhadap enam pencuri sarang burung walet di Bengkulu
sudah delapan tahu berlalu. Kasus yang melibatkan salah seorang penyidik
KPK ini, Kompol Novel Baswedan, kembali mencuat ke permukaan. Novel
hendak diseret oleh institusi yang membesarkannya di tengah kasus
penyidikan Simulator SIM Korlantas Polri.
Lalu, apakah menyimpan aib antar sesama anggota kepolisian sudah menjadi tradisi di tubuh Korps Bhayangkara untuk mejadi senjata bila suatu waktu anggota tersebut melakukan pelanggaran?
"Yang berbahaya lagi adalah, apabila semua polisi memiliki
dan menyimpan kasus rekan sesama polisi, bahkan
tidak menutup kemungkinan sekalian bersama barang buktinya. Lalu, ini
disimpan sebagai tabungan. Suatu saat, jika ada masalah pribadi atau
masalah yang ditimbulkan oleh anggota Polri yang merugikan korp,
tabungan kasus itu bisa dibuka," kata peneliti dari Indonesian Crime
Analyst Forum (ICAF), Mustofa B Nahrawardaya, kepada detikcom, Minggu
(7/10/2012).Lalu, apakah menyimpan aib antar sesama anggota kepolisian sudah menjadi tradisi di tubuh Korps Bhayangkara untuk mejadi senjata bila suatu waktu anggota tersebut melakukan pelanggaran?
"Yang berbahaya lagi adalah, apabila semua polisi memiliki
Dengan demikian, imbuh Mustofa, langkah saling menjaga aib, adalah langkah paling aman bagi mereka (anggota Polri). "Meskipun harus berbohong pada publik sekalipun," ujarnya.
Menjadi wajar siapapun anggota Polri yang bermasalah di masa lalunya bisa dibongkar kejahatannya di masa mendatang.
"Akibatnya bisa diduga, setiap kepala anggota polisi bisa saja menyimpan banyak rahasia sesama kawannya. Jika tidak ingin saling membuka, ya harus saling menutup. Gampangnya, upaya menutupi perbuatan jahat oknum anggota Polri justru akan dianggap wajar di sana, karena itu dilakukan demi menjaga kepentingan yang lebih besar, yakni nama baik polisi," jelas Mustofa.
Berkaca dari kasus Novel, Mustofa mengkhawatirkan adanya kriminalisasi terhadap rakyat sipil. Dia mengibaratkan polisi dengan begitu mudahnya mengkriminalisasi Novel dengan berlandaskan kasus yang terjadi delapan tahun lalu. Tentu ini ditakutkan menjadi pintu masuk polisi dalam mengkriminalisasi sipil.
"Mengkriminalisasi polisi saja segitu mudah dan terbukanya, apalagi saat mengkriminalisasi masyarakat awam," ujarnya.
Meski demikian, bila ada suara desakan pembubaran korps baju coklat hanya karena berseteru dengan KPK, polisi tidak akan mungkin dibubarkan. Ibarat dua sisi mata uang, polisi bisa dihujat habis-habisan akibat tingkah oknum-oknumnya, di lain sisi masyarakat sudah pasti membutuhkan kehadiran anggota kepolisian.
"Posisi tawar polisi di masyarakat cukup tinggi," terang Mustofa.
Sumber : Detik News